Tuesday, April 1, 2014

Tentang #SaveSatinah

Just a thought on #SaveSatinah.

Ada dua kubu, antara yg mendukung dan menolak upaya mencegah Satinah dihukum mati. Dan IMO, kedua kubu ini mengalami myopia masa tipikal orang Indonesia.

Baik yang mendukung atau menolak sama-sama mengalami rabun baik ke apa yang terjadi sebelum maupun apa yang akan terjadi sesudah.

Dari kubu yang menolak upaya menyelamatkan Satinah, argumen yg paling sering dimunculkan adalah: untuk apa menyelamatkan seseorang yang telah terbukti dan mengakui telah melakukan pembunuhan. Dalam argumen ini terlihat kegagalan memahami apa yang terjadi sehingga pembunuhan itu bisa terjadi. Bahkadn ada yang membuat insinuasi kejam ada TKI yang pergi ke Arab untuk membunuh (WTF banget sama jerkhead yg mikir kayak gini).

Lebih lanjut lagi, mereka disini gagal paham bahwa sejak seorang TKI harus mencari pekerjaan ke luar negeri, ada kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja yang layak untuk warganya. Dan dalam prosesnya ada berbagai ketidakadilan (bahkan penindasan) yang terjadi terhadap sang TKI.

Ada alasan mengapa dalam penegakan HAM, pekerja migran dimasukan dalam kelompok rentan bersama dengan perempuan, anak dan difabel dan ODHA.

Note: tidak perlu dibahas mengenai kewajiban negara untuk melindungi segenap warga negara sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi. Negara sudah gagal memberikan hak warga negara untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak ketika seorang warga negara yang tidak memiliki kemampuan harus mencari penghidupan di negara seperti Arab Saudi.

Disisi pendulum lain...

Mereka yang mendukung upaya penyelamatan Satinah dari hukuman mati, seharusnya juga mempertimbangkan bahwa keadilan tidaklah bisa diselesaikan dengan uang. Artinya, apabila upaya mencegah eksekusi hukuman mati terhadap Satinah, masalah keadilan tidak berhenti sampai disitu. Harus tetap ada sanksi atas tindakan kriminal yg dilakukan.

Lebih jauh lagi, upaya advokasi tudak bisa berhenti sampai Satinah saja, masih banyak Satinah-Satinah lain yang saat ini ada dalam posisi yang sama menunggu eksekusi. What about them?

Tuesday, February 11, 2014

Why I'm Rising


Ada beberapa alasan. Salah satunya seperti yang terpampang di gambar diatas. Satu hal yang muncul di benak saya ketika saya akan menuliskan kenapa saya mau mengikuti #OneBillionRising adalah berita tentang pelajar yang diperkosa 15 orang di Lampung, dan dalam kasus tersebut, polisi tidak menahan para tersangka (yang salah satunya adalah anggota legislatif sebuah partai) dan para pengacara yang mendampingi korban mengundurkan diri dengan alasan korban tidak mau bekerja sama.

I’d say “FUCK! FUCK! FUCK!” Kalau kasus yang terjadi adalah maling ayam, bukan pemilik ayam yang diharuskan bekerja sama agar si maling bisa ditangkap, diproses, diadili dan dihukum. Bahkan dalam kasus ekstrim, kalau seorang pencopet tertangkap massa, si pencopet bisa dipastikan babak belur dihajar massa, tanpa perlu si korban bekerja sama. Kenapa jika kasusnya pemerkosaan si korban yang harus bekerja sama? Kenapa tidak para pelaku langsung dicokok, dimasukan sel, dan jika tidak mengaku digebuki agar mau bekerjasama? Bahkan sejauh yang saya tahu, Partai Politik dari salah satu pelaku pun tidak menjatuhkan sanksi atas tindakan anggotanya. Perempuan, siapapun mereka bukanlah warga negara kelas dua yang dapat dan boleh diperlakukan seperti itu.

Alasan ini saja sesungguhnya sudah cukup untuk saya marah, dan mendukung gerakan OneBillionRising ini. Ada juga hal lain yang menjadi alasan saya.
Di web gerakan OneBillionRisingIndonesia ada tulisan ini, jujur saja saya merasa terhina dan saya bisa membayangkan banyak kaum pria yang merasa terhina dengan tulisan ini. Saya, sejauh saya bisa mengingat, tidak pernah melakukan hal yang dituliskan dalam tulisan tersebut (menggoda perempuan yang lewat) Dan saya mengenal banyak pria lain yang juga tidak akan melakukan hal yang sama. Dan hebatnya, atau sialnya, mereka tidak menganggap apa yang mereka lakukan itu spesial, atau karena mereka tercerahkan, atau karena mereka punya pemikiran modern. Perilaku mereka tersebut dilakukan hanya karena kesadaran bahwa begitulah mereka seharusnya memperlakukan manusia lain, apapun jenis kelaminnya.

Namun tidak bisa dipungkiri pula, bahwa masih banyak laki-laki yang melihat perempuan lebih rendah, melihat perempuan sebagai obyek. Seperti 15 orang pelaku pemerkosaan diatas, yang karena merasa lebih berkuasa sehingga merasa bebas memperlakukan perempuan. Atau juga kasus 4 petugas TransJakarta yang menggerayangi penumpang perempuan yang mengalami serangan Asthma di atas bus. Lebih jauh daripada itu, budaya patriarki, dimana lelaki memegang kekuasaan yang lebih dibandingkan perempuan, seperti dalam kasus pemerkosaan, dimana sangat jarang pelaku langsung ditangkap dan dipaksa mengakui kejahatannya seperti misalnya maling ayam. Hal ini terjadi karena dalam perspektif Polisi, laki-laki memang begitu, perempuan lah yang harusnya menjaga diri. Bahkan dalam kasus ekstrim, keluarga korban pemerkosaan/sexual abuse ikut menyalahkan korban, dan dalam kasus pemerkosaan, menerima jalan damai dimana si korban dinikahkan dengan si pelaku.

Yap, this is the world we’re living now. Kaum pria normal dipaksa menerima perlakuan diskriminatif seperti pemisahan tempat duduk di bus TransJakarta dan kereta CommuterLine, semata karena mereka laki-laki. Dan sialnya kita semua tahu, bahwa perlakuan diskriminatif ini perlu diterapkan, untuk menjaga keselamatan penumpang perempuan sekalipun kita tahu bahwa hal ini adalah sia-sia selama perspektif laki-laki busuk dalam melihat perempuan tidak dirubah sebagaimana kita lihat dalam kasus pelecehan oleh petugas bus TransJakarta.
So… I join this movement, untuk mengirimkan pesan, kepada para laki-laki yang masih memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua, juga kepada masyarakat yang masih melestariskan pola pikir patriarki: ENOUGH!

Tuesday, August 12, 2008

No for Corruptors Uniform

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi – Corruption Eradication Commission) gets the media highlight lately for their plan to put the accused of corruption crime in specially design uniform and put them on handcuff while they’re tried in Special Corruption Court (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi). While this seems to be a good initiative by KPK, I believe there are several things to point out here.
The main issue here is about the principle of equality before the law. Even with this new initiative, what seems clear to me is that KPK wants to treat this defendant as a special kind of criminal. Before they wear elegant clothing, from formal three piece suite to some religious clothing, now they want to give them special uniform. Come on guys why don’t just treat them equal with other criminal. If the chicken thieves (none of that profession anymore I’m afraid, they steal better thing these day) wear their prison uniform while they tried – put those corruptor in the same uniform. If those murderer being handcuffed than put those treat those corruptor in handcuffed too. It’s easier to be done and won’t take that long actually.
Further thing that I’ve been consider is why the hell did they have to make fuss with such trivial thing like this. Isn’t there other more important issues discuss? What about witness protection program, reverse prove for the defendant, and such stuff. I’m afraid this whole thing is only a sham, may be not though let’s see how this thing work out in a couple months.


Monday, April 2, 2007

My First

It's never easy I guess, for anything. Yet if we seek to advance, to grow than we must get used to many first time in our life.
Indonesia today: not that many events though, the biggest issue is still about the government position in regard of Iranian nuke issue. Not a good move actually. The government seems to ignore the fact that the majority the people here is sided with the Iranian. Although based on the issue it seem the SC Resolution is quite mild. No matter though, I believe the government seems to pick a fight on wrong issue, and it has nothing to do with the problem we have at hand.
A quick reminder of several issue that we must settle in this country are (ordered by my priority):

1. Munir murder and the lost activist,
2. Corruption and Law Enforcement
3. Agricultural Reform
4. Education Reform
5. Bank Intermediary function

The list may be short but I believe if the government can settle some of this issue they open the path to get reelected on 2009.

Another issue to concern is about the Governor of Jakarta election. I'm not going to vote in the election, and really between the two candidate Fauzi Bowo and Adang Daradjatun I'm still expecting to see more candidate to run. We still have Sarwono and Faisal Basri though their chance to get nominated is pretty slim - we can hope.

That's all for my first blog.
Keep the Faith.